Terinspirasi dari temanku, Farhan Makarim, aku pun mencoba untuk menuliskan perjalanan selama dua belas tahun pendidikan formalku.
Lagipula seperti
kata-kata Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan Indonesia, “Orang Boleh
Pandai Setinggi Langit. Tapi Selama Ia Tidak Menulis, Ia Akan Hilang di Dalam
Masyarakat dan dari Sejarah. MENULIS ADALAH BEKERJA UNTUK KEABADIAN”.
Inilah Kisahku~
Tidak terasa telah selesai aku menjalani ujian nasional (UN) tingkat SMA,
walaupun penuh dengan skandal pembocoran soal. Tak lama lagi diriku akan
melanjutkan ke bangku yang lebih tinggi, apalagi kalau bukan kuliah. Dua belas
tahun pendidikan formal telah kulewati, dan tentu saja pahit manisnya
pertemanan selama itu takkan terlupakan olehku sampai kapanpun. Pendidikan
Sekolah Dasar yang kutempuh selama 5 tahun di homeschooling, SMP selama 2,5 tahun di sebuah pesantren dan 3 tahun
di bangku MAN, ahh.... semua lika-liku kehidupan pada saat-saat tersebut sangat
mengharukan bila diingat kembali.
Diriku saat Kelas 5 SD
Teringat pertama kali aku menjejakkan kakiku di bangku SD di sebuah homeschooling pesantren, betapa nakalnya diriku. Pernah suatu hari aku berlari ke asrama perempuan tempat dimana bundaku berada dan meminta dibelikan sesuatu, namun sang ibunda tak mengabulkan apa yang aku inginkan. Karena kesal , aku yang saat itu masih berumur sekitar lima tahun, langsung mengambil kunci asrama dengan emosi. Dan kalian tau apa yang kulakukan? Aku kunci empat pintu asrama tersebut, kemudian tanpa basa-basi langsung kulemparkan kunci-kunci tersebut ke kolam ikan yang lumpurnya saja sedalam pinggang orang dewasa (muehehehehe). Akibatnya tentu saja, sang bunda pun diharuskan mengganti semua kunci tersebut dengan empat set yang baru. Cukupkah kenakalan ku sampai disitu? Tentu saja tidak! Pernah aku ditantang oleh senior-senior yang telah duduk di bangku SMP dan SMA untuk melakukan hal yang menggelikan dan sangat nakal. Tentu saja akibat keluguanku, langsung saja kuterima tantangan tersebut. Dan apakah tantangan tersebut? Apalagi kalau bukan mengintip para siswi senior saat sedang mandi (HUAHAHAHA ; Ingat! Aku masih enam tahun dikala kejadian itu terjadi). Oh Tuhan, betapa nakalnya diriku saat itu. Dan aku ingat saat menginjak kelas dua SD, aku bersama tiga orang temanku pernah bersembunyi di bawah gorong-gorong berdiameter sekitar 70 cm saat menghindari solat berjamaah di musholla. Dan memang benarlah bahwa Allah itu takkan membiarkan hambanya dalam kesesatan, kami pun terkena patil oleh lele yang bersembunyi di gorong-gorong tersebut. Hahaha, indah sekali kenangan tersebut.
Kemudian saat ku duduk di bangku kelas empat SD, aku berumur sembilan tahun
saat itu, buya (panggilan aku terhadap ayah) mengajak ku untuk mencicipi SD di
Malaysia. Wah tak tergambarkan betapa gembiranya aku saat itu. Tidur malam pun
menjadi susah karena bayangan Malaysia selalu mendarat di angan. “AKHIRNYA
KELUAR NEGERI! YEEEEEEEE”, itulah ekspresi ku saat mendapat kabar gembira itu.
Dan setelah seminggu mempersiapkan segalanya (saat itu aku sudah mempunyai
paspor), aku pun berangkat ke Malaysia bersama teman buya yang kupanggil Aa
Nurza. Sesampainya di Malaysia, prilaku ku tetap saja tidak berubah. Yang
awalnya pendiam karena belum terlalu mengenal orang, akhirnya menjadi yang
paling aktif diantara teman-teman yang lain. Dan yang awalnya menerima begitu
saja segala macam caci maki teman-teman yang mem-bully ku, akhirnya menjadi seseorang yang paling ditakuti dalam
asrama. Badanku boleh kecil, tapi semangat Diponegoro melawan penindasan
mengalir di dalam jiwaku. Semua yang pernah menindas ku, akhirnya kapok setelah
mendapat BOGEM panas dariku (hahaha). Kemudian saat kelas 5 SD, akupun
menghadapi ujian persamaan paket B. Dan tanpa disangka aku mendapatkan nilai
yang cukup bagus dalam ujian persamaan tersebut.
Diriku Saat SMP
Cerita pun berlanjut ketika aku melanjutkan sekolah ke jenjang SMP di
Pesantren Ar-risalah Lubuk Linggau,Sumatera Selatan. Akupun bertemu lagi dengan
teman-teman yang beraneka ragam budaya, karakter dan kebiasaan. Pada awalnya
aku tidak berniat untuk melanjutkan SMP ku di pesantren tersebut, aku hanya ingin
memperdalam kemampuan bahasa Arab dan Inggris ku. Maka dari itu aku pun datang
saat semua santri sedang merayakan liburan semester 1. Tapi tanpa diduga, saat
waktu libur habis dan para santri sudah kembali, aku ternyata disuruh untuk
mengikuti kegiatan pembelajaran secara formal. Wah kesalnya diriku pada saat
itu, dan ternyata itu memang rencana buya dan bunda agar aku melanjutkan SMP di
pesantren tersebut. Kelak aku menyadari, bahwa pengalaman selama SMP di
pesantren adalah pengalaman yang paling berkesan di dalam hidupku. Karena
disitulah aku mulai belajar bagaimana cara mengendalikan emosi dalam
pertemanan, bagaimana caranya membaca kitab Arab Gundul dan bermacam-macam pelajaran
lagi.
Salah satu pelajaran terpenting yang aku dapatkan adalah, saat aku duduk di
bagku kelas 2 SMP dan mengikuti lomba Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) atau Lomba
Baca Kitab Arab Goendoel yang pada akhirnya menjadi salah satu sebab utama aku
diterima di MAN 2 Kota Bogor. Lomba tersebut membuka cakrawala ku mengenai apa
arti sebuah kompetisi dan betapa nikmatnya mengikuti sebuah kompetisi. Walaupun
pada akhirnya aku hanya berhasil menjadi juara satu di tingkat kota dan gagal
menjadi juara di provinsi, semangat untuk mengikuti kompetisi telah terlanjur
membara di hati. Kemudian pelajaran penting kedua adalah pelajaran mengenai
ikhlas untuk menerima sesuatu yang buruk, walaupun sangat menyakitkan.
Pelajaran itu ku dapat ketika aku dan teman-teman ku tengah merayakan syukur
karena lulus UN SMP dengan nilai yang memuaskan. Malam itu tiba-tiba kami
menerima sebuah sms dari wali kelas bahwa salah satu teman kesayangan kami
mengalami tabrakan motor hebat di jalan lintas Sumatera, dan nyawanya tidak
bisa diselamatkan karena organ tubuh nya sudah hancur semua. Waktu itu aku
tidak bisa berkata apa-apa, aku langsung menangis di sudut asrama. Bahkan saat
menulis cerita ini, akupun menangis ketika mengingat betapa dekatnya aku dengan
dia. Semoga Allah selalu merahmati mu Feby Ariansyah.
Lanjut cerita, dengan adanya sertifikat “Juara 1 MQK Tingkat Kota Lubuk
Linggau Bidang Jurumiyyah”, aku pun mendaftar melalui Jalur Prestasi (Japres)
di MAN 2 Kota Bogor. Dan Alhamdulillah, aku pun diterima menjadi seorang siswa
di MAN 2 Kota Bogor pada tahun 2012.
Aku pun berdiam di kelas X-10 pada saat
itu, berada satu kelas dengan orang-orang yang paling konyol di dunia. Siapa
lagi kalau bukan si Arif atau Rizky Ma’arif, Fajar Syarifuddin, Si Bunda
Nisrina dan si mami Ririyani Nurhawari.
Diriku Saat Kelas 1 SMA
Kelas ku adalah
salah satu kelas yang selalu mendapat masalah setiap hari, Hahahaha. Mulai dari
bikin ribut sampai guru marah, berantem
sama kaka kelas (si Riri ), sampai akhirnya mendapat skors di pelajaran bahasa
Inggris karena gak ngerjain tugas (aku termasuk yang diskors pada saat itu).
Akan tetapi walaupun banyak masalah, kelas ku adalah kelas yang solid dalam
pertemanan. Bila ada tugas bersama seperti tugas pertunjukan seni dan drama,
kami pasti selalu berkerja keras untuk mendapatkan yang terbaik (Yang kerja
keras sih aku sama Nisrina doang perasaan, yang lain mah seminggu udah mau
tampil baru kerja keras, HAHAHA). Dan pada akhirnya kami berhasil menjadi yang
terbaik pada pertunjukan seni semester 1 (walaupun aku pingsan gara-gara gugup
pas 5 menit mau tampil, wkwkwk) dan mendapatkan nominasi terfavorit saat
pertunjukan drama yang ku sutradarai pada semester 2. Selain itu pada saat
kelas sepuluh ini, aku juga merasakan apa itu yang disebut dengan pacaran
walaupun hanya dua bulan. Hahahaha. Ternyata pacaran itu tak seindah yang
dibayangkan dan dosanya tak sekecil yang dibayangkan, alhamdulillah setelah itu
aku tidak pernah lagi dan berjanji tidak akan pernah lagi akan berpacaran.
Memasuki kelas XI, , lagi-lagi
aku harus mengalami kesedihan buya dan ibu ku (Istri ketiga buya) meninggal
dunia. Tapi saat itu aku berfikir bahwa
tidak boleh terlalu lama bersedih, aku harus kembali pada semangat yang telah
buya tanamkan semenjak aku kecil lagi.
Pada kelas XI, pelajaran menjadi semakin seru.
Aku yang memang mencintai matematika mendapatkan seorang guru yang bernama pak
Imron Rosyadi, seorang pelawak yang beralih profesi menjadi guru matematika.
HAHAHA. Teringat sekali ketika aku berdebat dengan beliau karena menyalahkan
jawaban ulangan ku, dan memaksa beliau untuk membetulkan. Masih tergambar jelas
bagaimana panasnya kondisi debat selama satu jam tersebut, dan bagaimana beliau
menjadi sangat emosi karena aku terus memaksa bahwa beliau salah. Akhirnya beliau
pun mengerjakan soal tersebut dan memberikannya kepada ku di selembar kertas,
sontak saja aku pun langusng terperangah dan tak bisa berkata- kata kecuali
“Ooooooo......... gitu toh, yaudah maaf ya pak. Berarti bapak yang bener, saya
salah liat tanda negatifnya (-) tadi “ ujarku. Dan begitulah, debat selama satu
jam tersebut selesai hanya dalam waktu 5 menit. Tapi debat itu membuka
wawasanku, bahwa kita tidak boleh memenerima sesuatu dengan begitu saja. Kita
harus selalu di mengecek dan menganalisis kebenarannya secara dalam, walaupun
itu ya pasti sangatlah pahit. Dan kelak pengalaman debat itulah yang akhirnya
mengantarkan ku menjadi seorang yang mencintai analisis, terutama di bidang
eksakta.
Kemudian singkat
cerita aku menjadi tertarik pada aplikasi matematika di kehidupan, dan akhirnya
menjadi menyukai fisika. Berkat pengalaman debat dengan pak Imron tersebut,
akupun akhirnya bisa menjadi juara fisika tingkat provinsi dan nasional. Memang
betul kata pepatah, “Di balik murid yang hebat, pasti ada guru yang lebih
hebat!”.
Tak terasa akhirnya sekarang aku
telah menginjak kelas XII, sebentar lagi aku akan menghadapi kehidupan
perkuliahan yang pastinya mengandung banyak tantangan baru. Aku pun berfikir,
“Bagaimana caranya agar berkuliah gratis dan bisa jalan-jalan seperti buya
dulu?. Oiya , jadi buya ku itu dulu kuliahnya di Prancis, mulai dari S1/Bachelor dampai S3/Doctoral . Dan setiap liburan, beliau selalu jalan-jalan keliling
Eropa. Maka dari itu pilihanku hanya satu, aku harus dapat beasiswa. Bahkan kalaubisa,
beasiswa tersebut haruslah dari universitas di luar Indonesia. Maka dari itu,
aku pun berjuang bersama Farhan Makarim untuk mengirim berkas lamaran beasiswa
kami yang pertama ke National University of Singapore (NUS) dan Nanyang
Technological University (NTU), tapi ternyata Allah belum memberi izin kepada
kami untuk menerima beasiswa tersebut. Kami tidak lolos pada tahap seleksi
awal. Tak menyerah, aku pun membidik
beasiswa dari Yayasan Ancora. Beasiswa tersebut ditujukan untuk putra-putri
Indonesia yang ingin melanjutkan studi Bachelor
di Malaysia. Dan Alhamdulillah aku lolos seleksi tahap pertama, tak
tergambarkan betapa senangnya saat membuka email pemberitahuan tersebut.
Walaupun begitu, ternyata Allah masih belum mengizinkan aku untuk mendapatkan
beasiswa terebut. Aku tidak lolos seleksi tahap kedua karena perbedaan data
antara formulir online yang ku isi pada tahap pertama dengan data yang kuisi di
berkas pada seleksi tahap kedua.
Tak menyerah, aku
pun kembali mencoba untuk mencari beasiswa lagi. Dan Alhamdulilah dipertemukan
dengan beasiswa Turkiye Burslari, atau beasiswa dari pemerintah Turki. Aku pun
kembali wara-wiri di kantor tata administrasi di sekolah untuk mengurus
dokumen- dokumen yang diperlukan. Dan Alhamdulillah kemarin saat ku lihat di
akun pendaftaran ku, ternyata status ku telah berubah menjadi “Being
Considered”/kandidat yang dipertimbangkan. Aku berharap semoga Allah
mengizinkan kan ku untuk menempuh pendidikan di bumi Alfatih tersebut, dan
kelak aku bisa mengaplikasikan ilmu ku di bidang pertanian dan bidang
pendidikan, Amin.
SEKIAN
Keren😊
BalasHapus